Peringatan!
Post ini tidak memuat foto tahu bulat meskipun berjudul tahu bulat.
Ingatkah? Ketika kita duduk di bangku taman sore itu. Menikmati sepotong sosis bakar dan segelas coklat pekat. Riang bercerita tentang masa-masa yang akan datang. Dilingkupi temaram cahaya jingga yang sedang mencumbu batas horizon.
Lau lalang kanak-kanak yang riuh bermain, berkejaran, atau bermain menyaru idola mereka. Kita ada disana sore itu. Berdua, menghayal, tentang dengan siapa dan seperti apa, tentang bagaimana dan semestinya. Aku rindu….Rindu, untuk duduk berdua denganmu. Mengukir cerita, membangun asa. Kemudian menyusun rencana. Dan kita sepakat, untuk meletakkan bahagia di tempat yang sama. Sepakat, bahagia melalui jalan yang sama.
Aku rindu…
Rindu sekali…
Yang direncanakan bisa saja batal. Yang tidak direncakan bisa pula lebih indah. Itulah ketentuan. Ketentuan penguasa langit yang selalu indah dan adil, walau terkadang manusia terlalu bebal dan bodoh hingga tidak tahu dimana letak keadilan serta keindahan itu.
#nasihatlama Lanjutkan membaca “#tanpajudul1”
Kenapa kamu gelisah?
Hei, aku ada disini. Aku ingin mendengar ceritamu. Mencicitlah semau hatimu sembari menghabiskan secangkir kopimu. Dan aku akan mendengarkan dengan mata berbinar serta telinga terbuka lebar. Hingga segelas susu sereal di hadapanku tandas ke dasar.
Lanjutkan membaca “#tanpajudul”
Langit kota. Tengah hari buta. Namun bisa terlihat bersemu jingga, bukan?
Terkadang mata bisa menipu. Ketika dia tidak mau berjalan bersama dengan logika, dan hati yang sedang ringkih menyambutnya. Dia ikut ringkih. Untuk kemudian bersatu bersama hati yang semakin parah melawan logika yang benar.
Siapa yang akan menang?
Oh. Logika ini benar, dan hati ini salah. Ada racun bersarang disana. Racun itu membentuk noktah hitam. Yang bisa saja makin melebar.
Lanjutkan membaca “Noktah Hitam”
Lagi. Sedikit boros untuk bulan ini. Nonton dua film hanya berselang beberapa hari. Setelah kemarin nonton AADC 2. Memang dua film ini dinanti sekali tahun ini. Lagi-lagi, agak malas-malasan pas diajak berangkat, mood sedang tidak baik. Sempat dua kali bilang batal ikut. Tapi terlanjur dibelikan tiket. Yasudahlah berangkat.
Lanjutkan membaca “Nonton. Lagi!”
Fiksi
Oleh: Cahaya Jingga
Senja membatas cakrawala. Berkas jingganya menelusuk sela-sela dedaunan. Membasuh pucuk-pucuk pohon. Suara serangga bersahutan. Sesekali burung-burung kecil lewat, hendak pulang ke sarangnya. Mencicit riang tanda mereka telah kenyang.
Gadis itu duduk di teras rumahnya. Sendu menatap matahari yang akan segera pergi. Rumahnya persis berada di ujung paling barat kampungnya. Sebelah barat rumahnya tidak ada apapun selain hamparan sawah. Sawah-sawah itu masih lapang, musim tebang tebu baru saja usai. Jadi dia leluasa menatap matahari tenggelam setiap hari. Menunggu adzan maghrib berkumandang.
“DINI, AKU ADA KABAR UNTUKMU”.
——-
Lanjutkan membaca “Dini Kedua”
Menjejak kaki ditempat ini. Aku selalu ingat akan kenangan itu. Kenangan yang manis, bisa juga disebut pahit.
Dan aku masih sering ketempat ini. Bukan untuk mengenang fragmen hidup kala itu, bukan. Potongan kisah hidupku ketika disini denganmu sudah lama kukubur. Kukubur dalam bersama langkahku meninggalkanmu. Aku kesini, justru aku ingin menghapus memori itu dan menimpanya dengan cerita baru.
Ah, mudah sekali rasanya aku berkata begitu. Menimpanya dengan cerita baru, memang cerita apa yang akan bisa kubuat disini? Aku bukan pembuat skenario yang asli, aku hanya tukang khayal.
Lanjutkan membaca “Kenangan”
Komentar Terbaru